Translate

Monday, July 2, 2012

Ansuransi dan Pegadaian Syariah

Ansuransi dan Pegadaian Syariah


A.    DEFINISI ASURANSI DAN PEGADAIAN SYARIAH

1.    Pengertian Asuransi Syariah.

Asuransi dalam Undang-Undang No.2 Th 1992 tentang usaha perasuransian adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum pihak ke tiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Sedangkan asuransi syariah didefinisikan sebagai alat untuk menanggulangi risiko (nasabah) dengan cara menanggung bersama kerugian yang mungkin terjadi dengan pihak lain (perusahaan asuransi) .
Asuransi syari'ah disebut juga dengan asuransi ta'awun yang artinya tolong menolong atau saling membantu . Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Asuransi ta'awun prinsip dasarnya adalah dasar syariat yang saling toleran terhadap sesama manusia untuk menjalin kebersamaan dalam meringankan bencana yang dialami peserta. Prinsip ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al Maidah ayat 2, yang artinya :
"Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan"
Di sisi lain, asuransi jiwa syariah dan asuransi jiwa konvensional mempunyai tujuan yang sama yaitu pengelolaan atau penanggulangan risiko. Perbedaan mendasar antara keduanya adalah cara pengelolaannya pengelolaan risiko asuransi konvensional berupa transfer risiko dari para peserta kepada perusahaan asuransi (risk transfer) sedangkan asuransi jiwa syariah menganut azas tolong menolong. Pada asuransi syariah, premi yang dibayarkan dibagi menjadi dua bagian yang jelas porsinya, yaitu tabungan dan derma. Bagian tabungan ini akan tetap menjadi milik peserta dan pada akhirnya akan dikembalikan pada peserta. Sedangkan bagian derma dari awal perserikatan sudah diikrarkan untuk tujuan itu. Selain perbedaan cara pengelolaan risiko, ada perbedaan cara mengelola unsur tabungan produk asuransi. Pengelolaan dana pada asuransi jiwa syariah menganut investasi syariah dan terbebas dari unsur ribawi.

2.    Pengertian Pengadaian Syariah.

Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak. Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang yang mempunyai utang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai utang.
Gadai dalam fiqh diebut Rahn, yang menurut bahasa adalah tetap, kekal, dan jaminan. Menurut beberapa mazhab, Rahn berarti perjanjian penyerahan harta oleh pemiliknya dijadikan sebagai pembayar hak piutang tersebut, baik seluruhnya maupun sebagian. Penyerahan jaminan tersebut tidak haus bersifat actual (berwujud), namun yang terlebih penting penyerahan itu bersifat legal misalnya berupa penyerahan sertifikat atau surat bukti kepemilikan yang sah suatu harta jaminan. Menurut mahab Syafi’i dan Hambali, harta yang dijadikan jaminan tersebut tidak termasuk manfaatnya.
Gadai syariah adalah produk jasa berupa pemberian  pinjaman menggunakan  sistem gadai dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip syariat Islam, yaitu antara lain tidak menentukan tarif jasa dari besarnya uang pinjaman.
Dalam hukum perdata, hak gadai hanya berlaku pada benda bergerak; sedangkan dalam hukum Islam, rahn berlaku pada seluruh harta, baik harta yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
Perusahaan Umum Pengadaian dalah satu-satunya badan usaha di Indonesia yang secara resmi mempunyai izin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk penyaluran  dana ke masyarakat  atas dasar hukum gadai seperti dimaksud dalm Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1150 di atas. Tugas pokoknya adalah memberikan pinjaman kepada masyarakat atas dasar hukum gadai agar masyarakat tidak dirugikan oleh kegiatan lembaga keuangan informal yang cenderung memanfaatkan kebutuhan dana mendesak dari masyarakat.

B.    PRINSIP OPERASIONALISASI ASURNSI DAN PENGADAIAN SYARIAH

1.    Prinsip Operasionalisasi Asuransi Syariah

Sembilan prinsip yang menjadi karakteristik operasional  ansuransi syariah, yakni :
a.    Ansuransi syariah menerapkan konsep saling menanggung dan tanggung jawab bersama. “takaful” artinya saling menjamin diantara anggota kelompok.
b.    Akad ansuransi syariah bukan merupakan kontrak jual beli dimana satu pihak menawarkan dan pihak lain bersedia membeli layanan dengan harga tertentu.
c.    Akad ansuransi syariah merupakan kesepakatan sekelompok orang untuk menjamin atau melindungi diri mereka terhadap kemalangan atau kesusahan, yang disepakati jenisnya, melalui pengumpulan dana bersama.
d.    Dalam hal ini salah satu anggota anggota menderita kerugian karena kemalangan atau bencana. Anggota tersebut akan menerima sejumlah uang dari dana bersama sesuai ketentuan kesepakatan. Kerugian tersebut bukanlah pemindahan tanggung jawab kepihak lain atau pihak perantara, sebagaimana dipraktekkan dalam asuransi konvensional.
e.    Dalam akad asuransi syariah para peserta adalah tertanggung sekaligus penanggung. Setiap peserta harus membayar sejumlah kontribusi kedalam dana bersama yang disebut “dana takaful”. Besarnya kontribusi harus sesuai dengan tingkat resiko, yang dapat dihitung menggunakan prinsip-prinsip ilmiah dan modern dibidang aktuaria.
f.    Untuk menghilangkan unsur berjudi, setiap peserta harus bersedia menyisihkan dana sumbangan (tabarru) sesuai dengan biaya resiko. Dengan demikian santunan yang diberikan kepada para peserta yang mengalami kemalangan atau musibah berasal dari dana sumbangan.
g.    Para peserta asuransi syariah berhak mendapatkan surplus dana (setelah pembayaran klaim, reasuransi, cadangan teknis dan biaya), sesuai sistem pembagian yang disepakati. Sebaliknya, bila terjadi kekurangan dana, para peserta juga secara kolektif bertanggung jawab menutupnya sesuai dengan proporsi masing-masing.
h.    Peran perusahaan asuransi dalam asuransi syariah adalah sebagai penglola dana takaful bagi peerta yang ditunjuk melalui kontrak perwakilan (wakalah). Sebagai pengelola dana, perusahaan asuransi mendapatkan imbalan dalam bentuk fee, yaitu : manajemen fee, performance fee (laba investasi + surplus underwriting).
i.    Dalam hal terjadi defisit, demi praktisnya, perusahaan asuransi syariah berkewajiban meminjakan modalnya untuk menutup kekurangan, tanpa bunga. Pinjaman tersebut akan ditutup oleh surplus dimasa mendatang. Besarnya modal yang dimiliki perusahaan asuransi menentukan kapasitas underwriting dari dana takaful .

2.    Prinsip Operasionalisasi Pegadaian syariah

Implementasi operasi syariah hampir bermiripan dengan pegadaian konvensional. Seperti halnya pegadaian konvensional, pengadaian syariah juga menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan barang bergerak. Prosedur untuk memperoleh kredit gadai syariah sangat sederhana, masyarakat hanya menunjukkan bukti identitas diri dan barang bergerak sebagai jaminan, uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang tidak relatif lama (kurang lebih 15 menit saja). Begitupun untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah uang dan surat bukti rahn (gadai) saja dengan waktu proses yang juga singkat.
Disamping kemiripan dari beberapa segi, jika ditinjau dari aspek landasan konsep; teknik transaksi; dan pendanaan, salah satu pembedanya adalah pembiayaan kegiatan dan pendanaan bagi nasabah, harus diperoleh dari sumber yang benar-benar terbebas dari unsur riba. Dalam hal ini, seluruh kegiatan pegadaian syariah termasuk dana yang kemudian disalurkan kepada nasabah murni berasal dari modal sendiri ditambah dana pihak ketiga dari sumber yang dapat dipertanggung jawabkan.

C.    PANDANGAN HUKUM ISLAM TENTANG ASURANSI DAN PEGADAIAN SYARIAH.

1.    Pandangan Hukum Islam Mengenai Asuransi.

a.    Pendapat pertama : Mengharamkan
Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya, temasuk asuransi jiwa Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqii (mufti Yordania), Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bakhil al-Muth’i (mufti Mesir”). Alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah:
1)    Asuransi sama dengan judi
2)    Asuransi mengandung ungur-unsur tidak pasti
3)    Asuransi mengandung unsur riba/renten
4)    Asuransi mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis, apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau di kurangi
5)    Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam praktek-praktek riba
6)    Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai
7)    Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan mendahului takdir Allah

b.    Pendapat Kedua : Membolehkan.

Pendapat kedua ini dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar Hukum Islam pada fakultas Syari’ah Universitas Syria), Muhammad Yusuf Musa (guru besar Hukum Isalm pada Universitas Cairo Mesir), dan Abd. Rakhman Isa (pengarang kitab al-Muamallha al-Haditsah wa Ahkamuha). Mereka beralasan:
1)    Tidak ada nash (al-Qur’an dan Sunnah) yang melarang asuransi
2)    Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak
3)    Saling menguntungkan kedua belah pihak
4)    Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat di investasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan
5)    Asuransi termasuk akad mudhrabah (bagi hasil)
6)    Asuransi termasuk koperasi (Syirkah Ta’awuniyah)
7)    Asuransi di analogikan (qiyaskan) dengan sistem pensiun seperti taspen.

c.    Pendapat Ketiga : Asuransi sosial boleh dan komersial haram.

Pendapat ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad Abdu Zahrah (guru besar Hukum Islam pada Universitas Cairo). Alasan kelompok ketiga ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat komersial (haram) dan sama pula dengan alasan kelompok kedua, dalam asuransi yang bersifat sosial (boleh). Alasan golongan yang mengatakan asuransi syubhat adalah karena tidak ada dalil yang tegas haram atau tidak haramnya asuransi itu. Asuransi Syariah a. Prinsip Asuransi Syariah Suatu asuransi diperbolehkan secara syar’i, jika tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan syariat Islam. Untuk itu dalam muamalah tersebut harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1)    Asuransi syariah harus dibangun atas dasar taawun (kerja sama ), tolong menolong, saling menjamin, tidak berorentasi bisnis atau keuntungan materi semata. Allah SWT berfirman,” Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.”
2)    Asuransi syariat tidak bersifat mu’awadhoh, tetapi tabarru’ atau mudhorobah.
3)    Sumbangan (tabarru’) sama dengan hibah (pemberian), oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut syariat.
4)    Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan, harus disertai dengan niat membantu demi menegakan prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang yang terkumpul itu diambilah sejumlah uang guna membantu orang yang sangat memerlukan.
5)    Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya ia mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetepi ia diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut izin yang diberikan oleh jamaah.
6)    Apabila uang itu akan dikembangkan, maka harus dijalankan menurut aturan syar’i.

2.    Pandangan Hukum Islam Mengenai Pegadaian.

Gadai secara hukumnya diperbolehkan asalkan tidak terkandung praktek ribawi. Sebagaimana dijelaskan dalam Firman Allah SWT dalam Q.S. An-Nissa: 29
                    •       
29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Q.S. Al-Baqarah: 283 :
         •                              
283. Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dari Aisyah r.a., Nabi SAW bersabda :
“Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah membeli makanan seorang Yahudi dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya.” (H.R. Bukhri dan Muslim)
Dalam gadai secara syariah, tidak ada pembungaan uang pinjaman, melainkan biaya penitipan barang. Ketika  seseorang menggadaikan mobilnya, maka ia berkewajiban untuk membayar biaya penitipan mobil tersebut. Dan biaya seperti itu wajar terjadi. Maka ketika seseorang menggadaikan mobil, ia pun pada hakikatnya harus membayar biaya penitipan mobil itu. Biaya penitipan itulah menjadi keuntungan bagi pihak yang memberi pinjaman hutang. Perbedaan utama antara gadai syariah dengan gadai yang haram adalah dalam hal pengenaan bunga. Pengadaan syariah bebas dari bunga, yang ada hanyalah biaya penitipan barang.

No comments: