Translate

Monday, November 22, 2010

Tata Kelola Pemerintahan Yang Bak dan Bersih (Good and Clean Governance)


TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK DAN BERSIH (GOOD AND CLEAN GOVERNANCE)

1. PENGERTIAN GOOD GOVERNANCE.
Arti istilah Good Governance dianggap berkaitan erat dengan pengertian berikut: Pemerintahan yang baik. Cita negara berdasarkan hukum, di mana masyarakatnya merupakan self regulatory society. Dengan demikian, pemerintah sudah dapat mereduksi perannya sebagai pembina dan pengawas implementasi visi dan misi bangsa dalam seluruh sendi-sendi kenegaraan melalui pemantauan terhadap masalah-masalah hukum yang timbul dan menindaklanjuti keluhan-keluhan masyarakat dan sebagai fasilitator yang baik. Dengan pengembangan sistem informasi yang baik, kegiatan pemerintahan menjadi lebih transparan, dan akuntabel, karena pemerintah mampu menangkap feedback dan meningkatkan peran serta masyarakat. Dalam konteks lain (hukum), Pemerintahan yang baik merupakan suatu asas yang dikenal sebagai Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, yang merupakan jembatan antara norma hukum dengan norma etik.

2. PRINSIP-PRINSIP GOOD AND CLEAN GOVERNANCE
Untuk merealisasikan pemerintahan yang professional dan akutanbel yang berdasarkan pada prinsip-prinsip good and clean governance, Lembaga Administrasi Negara merumuskan 9 aspek fundamental yaitu :
Ÿ         Partisipasi
Ÿ         Penegaan hukum
Ÿ         Transparansi
Ÿ         Rensponsif
Ÿ         Orientasi kesepakatan
Ÿ         Keadilan
Ÿ         Efektifitas dan efesiensi
Ÿ         Akutanbilitas
Ÿ         Visi strategis
a. Partisipasi
Semua warga negara mempunyai suara dalam pengambilan keputusan baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan yang sah. Patisipasi tersebut di bangun berdasarkan prinsip demokrasi yakni kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat secara konstruktif. Dalam Undang-Undang Dasar 1945, disebutkan bahwa warga negara dijamin kebebasannya berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, menyatakan pikiran melewati tulisan maupun lisan. Dan Setiap orang berhak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang dugaan korupsi, serta menyampaikan saran dan pendapat maupun pengaduan kepada penegak hukum (polisi,jaksa,hakim,advokat). Dalam pasal 1,ayat 1,PP Nomor 71 Tahun 2000 di sebutkan peran serta masyarakat adalah peran aktif perorangan, organisasi masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Artinya bahkan setiap orang, organisasi masyarakat, atau lembaga swadaya masyarakat berhak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum dan atau komisi yang menangani perkara tindak pidana korupsi, seperti juga tercantum dalam pasal 2 ayat 1 peraturan pemerintah tersebut.

b. Penegakan hukum
Pelaksanaan kenegaraan dan pemerintah harus di tata oleh sebuah aturan hukum yang kuat dan memiliki kepastian hukum. Sehubungan dengan itu Santoso menegaskan harus diimbangi dengan komitmen penegakan hukum dengan karakter-karakter antara lain:
Ÿ     Supremasi hukum
Supremasi hukum akan menjamin tidak terjadinya tindakan penguasa atas dasar diskresi (tindakan sepihak berdasarkan kekuasaan yang dimilikinya
Ÿ     Kepastian hukum
Bahwa setiap kehidupan berbangsa dan bernegara diatur oleh hukum yang jelas dan pasti, tidak duplikatif dan tidak pertentangan antara satu dan lainnya.
Ÿ     Hukum yang reponsif
Aturan-aturan hukum itu disusun berdasrkan aspirasi masyarakat dan mampu mengakomodir berbagai kebutuhan publik
Ÿ     Penegakan hukum yang konsisten dan  non diskrimatis
Bahwa penegakan hukum berlaku untuk semua islam
Ÿ     Independensi peradilan
Bahwa peradilan tidak dipengaruhi oleh penguasa.




c. Trasparansi
Hal ini mutlak dilakukan untuk menghilangkan budaya korupsi dikalangan pelaksana pemerintah. Mengutip kesimpulan Syed Husain Alatas, Kumorotomo menyimpulkan 7 macam korupsi yang biasa dilakukan oleh kalangan birokrasi di Indonesia, yaitu:
Ÿ         Transactive corruption
Yaitu korupsi yang dilakukan saat transaksi dan kedua belah pihak mengambil keuntungan dari transaksi dengan merugikan negara.
Ÿ         Investive corruption
Yakni investasi yang belum memiliki kepastian keuntungannya.
Ÿ         Neposistive corruption
Yakni pemberian pekerjaan pada keluarga sehingga mengurang efektifitas kontrol.
Ÿ         Defensive corruption
Yakni pihak korban memberikan sesuatu kepada pihak lain untuk mempertahankan diri dan prilaku pemberikan tersebut merugikan negara.
Ÿ         Autogenic  corruption
yakni korupsi yang dilakukan seseorang dan tidak melibatkan orang lain yang dapat menguntungkan dirinya.
Ÿ         Supportive corruption
yakni korupsi untuk melindungi korupsi yang lain yang telah dilakukannya.
Menurut Gaffar terdapat 8 aspek mekanisme pengelolaan negara yang harus dilakukan secara trasparan, yaitu:
Ø      Penetapan posisi dan jabatan
Ø      Kekayaan pejabat publik
Ø      Pemberian penghargaan
Ø      Penetapan kebijakan
Ø      Kesehatan
Ø      Moralitas pejabat
Ø      Keamanan dan ketertiban
Ø      Kebijakan strategis

d. Rensponsif  
Affan menegaskan bahwa pemerintah harus memahami kebutuhan masyarakat, tidak menunggu mereka menunggu keinginannya tetapi secara proaktif mempelajari dan menganalisa kebutuhan masyarakat untuk kemudian melahirkan berbagai kebijakan strategis guna memenuhi kepentingan umum.
Sesuai asas rensponsif, setiap unsur pemerintah harus memiliki 2 etika yaitu:
Ÿ         Etika individual
Yakni kualivikasi etika individual menurut pelaksanaan birokrasi pemerintah agar memiliki kriteria kapabilitas dan loyalitas profesional.
Ÿ         Etika sosial
Yakni menurut pelaksanaan birokrasi pemerintah agar memiliki sensitifitas terhadap berbagai kebutuhan publik.
Pemerintah bisa dikatakan baik jika telah melahirkan kebijakan yang beerdampak baik kepada sebagian negaranya. Sebaliknya Pemerintah bisa dikatakan buruk jika membuat sebagian warganya hidup tidak selayaknya dan kesejahteraan hanya dinikmati oleh elit birokrasi. Terkait asas rensponsif adalah pemerintah harus terus merumuskan kebijaka-kebijakan pembangunan terhadap semu kelompok sosial sesuai dengan karakteristik budayanya. Hal ini karena masih sering dijumpai masyarakat yang hidup dlam kemiskinan dan terbelakang dari segi pendidikan namun mereka menikmatinya. Hal ini bukan disebabkan karena tidak ada program yang dilakukan pemerintah  tetapi secara kultural mereka menolak terhadap program-program pembangunan.

e. Konsensus
Bahwa keputusan apapun harus dilakukan melalui proses musyawarah. Paradikma ini perlu dikembangkan dalam pelaksanaan pemerintah karena urusan yang mereka kelola adalah persoalan public yang harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Untuk meningkatkan dinamika dan menjaga akuntanbilitas dari proses pengelolaan tugas-tugas pemerintah dalam pengambilan berbagai kebijakan, pemerintah harus mengembankan kebijakan sikap yaitu:
Ÿ         Optimistik
Yakni sikap yang memperlihatkan bahwa setiap persoalan dapat diselesaikan dengan baik dan benar.
Ÿ         Keberanian
Yakni keberanian dalam mengambil keputusan dengan penuh integritas dan kejujuran sesuai dengan prosedur yang benar serta tidak takut dengan intimadi penguasa atau organisasi tertentu.
Ÿ         Keadilan yang berwatak kemurahan hati
Yakni kemampuan untuk menyeimbangkan komitmen atas orang atau kelompok dengan etik.
f. Kesetaraan
Yakni kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan karena kenyataan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang majmuk baik etnis, agama dan budaya.

g. Efektifitas dan Efisiensi
Kriteria efektifitas biasanya diukur dengan produk yang dapat menjangkau sebesar-besar kepentingan masyarakat. Sedangkan efesiensinya diukur dengan rasinalitas biaya pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Semakin kecil biaya yang terpakai untuk kepentingan terbesar maka termasuk dalam kategori pemerintahan efesien.

 h. Akutanbilitas 
Akutanbilitas adalah pertanggung jawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Pengembangan akutanbilitas bertujuan agar para pejabat yang diberi kewenangan mengelola urusan publik selalu terkontrol dan tidak memiliki peluang melakukan penyimpangan.
Secara teoritik akutanbilitas menyangkut 2 dimensi yaitu akutanbilitas vertikal dan akutanbilitas horisontal. Akutanbilitas vertikal menyangkut hubungan antara pemegang kekuasaan dengan rakyatnya. Pemegang kekuasaan dalam struktur kenegaraan harus menjelaskan kepada masyarakat apa yang telah dilakukan, sedang dan akan yang dilakukan dimasa mendatang. Akutanbilitas vertikal memiliki pengertian bahwa setiap pejabat harus mempertanggungjawabkan kebijakan dan pelaksanaan tugas-tugasnya kepada atasan yang lebih tinggi. Seperti bupati mempertanggungjawabkan tugasnya kepada gubernur.
Sedangkan akutanbilitas horisontal adalah pertanggungjawaban pemegang jawaban publik kepada lembaga yang setara, seperti gubernur dengan DPRD I, bupati dengan DPRD II.

i. Visi strategis
Visi strategis  adalah pandangan strategis untuk menghadapi masa yang akan datang karena perubahan dunia dengan kemajuan tegnoliginya begitu cepat. Seseorang yang menempati jabatan publik harus mempunyai kemampuan menganalisa persoalan dan tantangan yang akan dihadapi oleh lembaga yang dipimpinnya.

3. GOOD AND CLEAN GOVERNANCE DAN KONTROL SOSIAL
             Untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih berdasarkan prinsip-prinsip pokok good and clean governance, setidaknya harus melakukan lima aspek pelaksanaan prioritas program, yakni :
1.Penguatan fungsi dan Peran Lembaga Perwakilan
            Penguatan peran lembaga perwakilan rakyat, MPR, DPR, DPRD, mutlak dilakukan dalam rangka peningkatan fungsi mereka sebagai pengontrol jalannya pemerintahan7. Selain melakukan check and balances , lembaga legislatif juga harus mampu menyerap dan mengartikulasikan aspirasi masyarakat dalam bentuk usulan pembangunan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat kepada lembaga eksekitif.

2.Kemandirian Lembaga Peradilan
             Kesan yang paling buruk dari pemerintahan orde baru adalah ketidak mandirian lembaga peradilan. Intervensi eksekutif terhadap yudikatif masih sangat kuat,sehingga peradilan tidak mampu menjadi pilar terdepan dalam penegakan asas rule of law. Hakim, jaksa dan polisi tidak bisa dengan leluasa menetapkan perkara. Era reformasi sebagai era pembaharuan juga masih belum memberikan angin segar bagi independensi lembaga peradilan, karna mainstream pembaharuan independensi lembaga peradilan sampai saat ini belum jelas. Untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa berdasarkan prinsip good and governance peningkatan profesionalitas aparat penegak hukum dan kemandirian lembaga peradilan mutlak dilakukan. Akuntabilitas aparat penegak hukum dan lembaga yudikatif merupakan pilar yang menentukan dalam penegakan hukum dan keadilan.

3.Aparatur Pemerintah yang Profesional dan Penuh Integritas
             Birokrasi di Indonesia tidak hanya dikenal buruk dalam memberikan pelayanan publik, tapi juga telah memberi peluang berkembangnya praktik-praktik kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Dengan demikian pembaharuan konsep, mekanisme dan paradigma aparatur negara dari birokrasi elitis menjadi birokrasi populis (pelayanan rakyat) harus dibarengi ddengan peningkatan profesionalitas dan integritas moral jajaran birokrasi pemerintah. Akuntabilitas jajaran birokrasi akan berdampak pada naiknya akuntabilitas dan legitimasi birokrasi itu sendiri. Aparatur birokrasi yang mempunyai karakter tersebut dapat bersinergi dengan pelayanan birokrasi secara cepat, efektif, dan berkualitas.

4.Masyarakat Madani yang Kuat dan Partisipatif

            Peningkatan partisipasi masyarakat adalah unsur penting dalam merealisasikan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan publik mutlak dilakukan dan difasilitasi oleh negara. Masyarakat mempunyai hak untuk menyampaikan usulan, mendapat informasi, dan hak untuk melakukan kritik terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Kritik dapat dilakukan melalui lembaga-lembaga perwakilan, pers maupun dilakukan secara langsung lewat dialog-dialog terbuka dengan jajaran birokrasi bersama LSM, partai politik, maupun organisasi sosial lainnya.

5.  Peningkatan Kesejahteraan Rakyat dalam Kerangka Otonomi Daerah.
            
Salah satu kelemahan dari pemerintahan masa lalu adalah kuatnya sentralisasi kekuasaan pada pemerintah pusat, sehingga potensi-potensi daerah dikelola oleh pemerintah pusat. Kebijakan ini menimbulkan akses yang amat parah, karena banyak daerah yang amat kaya dengan sumber daya alamnya, justru menjadi kantong-kantong kemiskinan nasional. Untuk merealisasikan prinsip-prinsip clean and good governance, kebijaksanaan ekonomi daerah dapat dijadikan sebagai media transformasi pewujudan model pemerinttahan yang menopang tumbuhnya kultur demokrasi di Indonesia. Lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah telah memberikan wewenang pada daerah untuk melakukan pengelolaan dan memajukan masyarakat dalam politik, ekonomi, sosial, dan budaya dalam kerangka menjaga keutuhan NKRI. Dengan pelaksanaan otonomi daerah pencapaian tingkat kesejahteraan dapat diwujudkan secara lebih cepat agar pada akhirnya akan mendorong kemandirian masyarakat.

4. GOOD AND CLEAN GOVERNANCE DENGAN GERAKAN ANTI KORUPSI
Korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna meraih keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan Negara secara spesifik. Korupsi menjadi penyebab ekonomi menjadi berbiaya tinggi, politik yang tidak sehat, dan kemerosotan moral bangsa yang terus - menerus merosot.
1.Gerakan Antikorupsi
         CEREMY Pope menawarkan strategi untuk memberantas korupsi yang mengedepankan control kepada dua unsur paling berperan di dalam tindak korupsi10. Pertama, peluang korupsi; kedua, keinginan korupsi. Menurutnya, korupsi terjadi jika peluang dan keinginan dalam waktu bersamaan. Peluang dapat dikurangi dengan cara membalikkan siasat ”laba tinggi, risiko rendah” menjadi “laba rendah, risiko tinggi”; dengan cara menegakkan hukum dan menakuti secara efektif, dan menegakka mekanisme akuntabilitas.
         Penanggulangan tindakan korupsi dapat dilakukan antara lain dengan:
pertama, adanya political will dan political action dari pejabat Negara dan pimpinan lembaga pemerintah pada setiap satuan kerja organisasi untuk melakukan langkah proaktif pencegahan dan pemberantasan perilaku dan tindak pidana korupsi. Tanpa kemauan kuat pemerintah untuk memberantas korupsi di segala lini pemerintahan, kampanye pemberantasan korupsi hanya slogan kosong belaka.
Kedua, penegakan hokum secara tegas dan berat. Proses eksekusi mati bagi koruptor di Cina, misalnya, telah membuat sejumlah pejabat tinggi dan pengusaha di negeri itu menjadi jera untuk melakukan tindak korupsi. Hal yang sama terjadi pula di Negara-negara maju di Asia, seperti Korea Selatan, Singapura, dan Jepang termasuk Negara yang tidak kenal kompromi dengan pelaku korupsi. Tindakan tersebut merupakan shock therapy untuk membuat tindakan korupsi berhenti.
Ketiga, membangun lembaga-lembaga yang mendukung upaya pencegahan korupsi, misalnya, Komisi Ombudsman sebagai lembaga yang memeriksa pengaduan pelayanan administrasi publik yang buruk. Pada beberapa Negara, mandat Ombudsman mencakup pemeriksaan dan inspeksi atas sistem administrasi pemerintah dalam hal kemampuannya mencegah tindakan korupsi aparat birokrasi. Di Indonesia telah di bentuk Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), Tim Penuntasan Tindak Pidana Korupsi (Timtastipikor) dengan tugas melakukan investigasi individu dan lembaga, khususnya aparatur di pemerintah yang melakukan korupsi. Selain lembaga bentukan pemerintah, masyarakat juga membentuk lembaga yang mengemban misi tersebut, seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) dan lembaga sejenis.
Keempat, membangun mekanisme penyelenggaraan pemerintahan yang menjamin terlaksananya pratik good and clean governance, baik di sektor pemerintah, swasta atau organisasi kemasyarakatan.
Kelima, memberikan pendidikan antikorupsi, baik melalui pendidikan formal maupun pendidikan nonformal. Dalam pendidikan formal, sejak pendidikan dasar sampai perguruan tinggi diajarkan bahwa nilai korupsi adalah bentuk lain dari kejahatan.
Keenam, gerakan agama antikorupsi, yaitu gerakan membangun kesadaran keagamaan dan mengembangkan spiritualitas antikorupsi.

5. TATA KELOLA KEPEMERINTAHAN YANG BAIK DAN KINERJA BIROKRASI PELAYANAN PUBLIC
Pelayanan umum atau pelayanan publik adalah pemberian jasa, baik oleh pemerintah, pihak swasta atas nama pemerintah maupun pihak swasta kepada masyarakat, dengan atau tanpa pembayaran guna memenuhi kebutuhan atau kepentingan masyarakat11. Dengan demikian, yang bisa memberikan pelayanan publik kepada masyarakat luas bukan hanya instasi pemerintah, melainkan juga pihak swasta. Pelayanan publik yang dijalankan oleh instasi pemerintah bermotif sosial dan politik, yakni menjalankan tugas pokok serta juga mencari dukungan suara. Sedangkan, pelayanan publik oleh pihak swasta bermotif ekonomi, yakni mencari keuntungan.
         Ada beberapa alasan mengapa pelayanan publik menjadi titik strategis untuk memulai pengembangan dan penerapan good and clean governance di Indonesia :
Pertama, pelayanan publik selama ini menjadi area di mana Negara yang di wakili pemerintah berinteraksi dengan lembaga nonpemerintah. Keberhasilan dalam pelayanan publik akan mendorong tingginya dukungan masyarakat terhadap kerja birokrasi.
Kedua, pelayanan publik adalah wilayah dimana berbagai aspek good and clean governance bisa diartikulasikan secara lebih mudah.
Ketiga, pelayanan publik melibatkan kepentingan semua unsur governance, yaitu pemerintah, masyarakat, dan mekanisme pasar. Dengan demikian, pelayanan publik menjadi tidak pangkal efektifnya kinerja birokrasi.
          Kinerja birokrasi adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan dengan memperhitungkan elemen-elemen indikator sebagai berikut ini :
1. Indikator masukan (inputs), adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar birokrasi mampu menghasilkan produknya, baik barang atau jasa, yang meliputi sumber daya manusia, informasi, kebijakan dan sebagainya.
2. Indikator proses (process), yaitu sesuatu yang berkaitan dengan proses pekerjaan berkaitan dengan kesesuaian antara perencanaan dengan pelaksanaan yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang berupa fisik ataupun nonfisik.
3. Indikator produk (outputs), yaitu sesuai yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang berupa fisik maupun nonfisik.
4. Indikator hasil (outcomes), adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya produk kegiatan pada jangka menengah (efek langsung).
5. Indicator manfaat (benefit), adalah segala sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanan kegiatan.
6. Indikator dampak (impacts), adalah pengaruh yang ditimbulkan, baik positif maupun negatif pada setiap tingkatan indikator berdasarkan asumsi yang telah di tetapkan.


6. FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA BIROKRASI
          Kinerja birokrasi di masa depan akan dipengaruhi oleh faktor- faktor berikut ini:
a)Struktur biroksasi sebagai hubungan internal yang berkaitan dengan fungsi yang menjalankan aktivitas birokrasi.
b)Kebijakan pengelolaan, berupa visi, misi, tujuan, sasaran, dan tujuan dalam perencanaan strategis pada birokrasi.
c)Sumber daya manusia, yang berkaitan dengan kualitas kerja dan kapasitas diri untuk bekerja dan berkarya secara optimal.
d)Sistem informasi manajemen, yang berhubungan dengan pengelolaan data base dalam kerangka mempertinggi kinerja birokrasi. Sarana dan prasarana yang dimiliki, yang berhubungan dengan penggunaan teknologi bagi penyelenggaraan birokrasi pada setiap aktifitas birokrasi.


.




























DAFTAR PUSTAKA



http://madhina-oase.blogspot.com/2009/03/good-governance.html

http://podoluhur.multiply.com/journal/item/42/MENUJU_GOOD_GOVERNANCE

Rosyada, et. Al., Dede. Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Tata kelola Good & Clean Governance, Jakarta : ICC UIN Malang 2007

Thursday, November 18, 2010

my self...

Asalamualaikum....



perkenalkan,, aku iNdAh...

nMa lengKp aQ indah by duri..

beCuz aQ lhir d sbuah rmah sKit d koTa dURi (RIAU) d smping hotel yg nMa ny 'by duri hotel'

sO, jdi lh nmA aQ indah by duri..

It's a unique names, right???

Hahaha :D