Translate

Thursday, June 28, 2012

Risywah (Suap), Ghulul (Korupsi), dan Pemberian Hadiah pada Pejabat.

BAB I
PENDAHULUAN.


A.    Latar Belakang.

Lebih dari sepuluh tahun Reformasi, bangsa ini belum mampu tuntas memerangi KKN. Bahkan disinyalir semakin hari, penyakit yang merongrong negeri ini kian tumbuh varian-varian serta model baru. Publik pasti terus mendengar kasus korupsi yang menjerat pejabat publik negeri ini. Belum tuntas satu kasus yang menerpa satu pejabat, muncul kasus lain, muncul "gaya" baru dalam kasus tersebut.
Tak hanya korupsi, suap pun disinyalir terus bermetamorfosis dengan sebutan-sebutan anyar. Apakah itu uang hibah, hadiah, bahkan uang persahabatan. Di Indonesia, korupsi dan suap agaknya telah menjadi persoalan yang amat kronis. Ibarat penyakit, korupsi dikatakan telah menyebar luas ke seluruh negeri dengan jumlah yang dari tahun ke tahun cenderung semakin meningkat. Hasil riset yang dilakukan oleh berbagai lembaga, juga menunjukkan bahwa tingkat korupsi di negeri yang penduduknya mayoritas muslim ini termasuk yang paling tinggi di dunia.
Oleh karena itu penulis tertarik membahas tentang korupsi dan variansinya dalam kehidupan masa kini. Untuk menambah wawasan kita mengenai korusi, suap, dan pemberian hadiah serta bagaimana pandangan islam dalam mengkaji hal tersebut.

B.    Batasan Masalah.
Dalam makalah ini penulis hanya akan membahas mengenai :
1.    Pengertian Risywah (Suap), Ghulul (Korupsi), dan Pemberian Hadiah pada Pejabat
2.    Pandangan Islam mengenai Risywah (Suap) dan  Ghulul (Korupsi).
3.    Pandangan Islam mengenai Pemberian Hadiah pada Pejabat.

C.    Tujuan.
Makalah ini bertujuan untuk  memenuhi tugas individu mengenai Risywah (Suap), Ghulul (Korupsi), dan Pemberian Hadiah pada Pejabat, serta menambah wawasan kita sebagai mahasiswa tentang hal tersebut dan bagaimana pandangan islam memandangnya.




BAB.II
PEMBAHASAN
Risywah (Suap), Ghulul (Korupsi), dan Pemberian Hadiah pada Pejabat.

A.    Pengertian.
1.    Definisi Risywah (Suap).
Risywah menurut bahasa berarti: “pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim atau lainnya untuk memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak dibenarkan atau untuk mendapatkan sesuatu yang sesuai dengan kehendaknya. Sedangkan menurut istilah risywah berarti: “pemberian yang bertujuan membatalkan yang benar atau untuk menguatkan dan memenangkan yang salah.
Berdasarkan definisi di atas, bisa disimpulkan bahwa suatu tindakan dinamakan risywah jika memenuhi unsur-unsur berikut :
a.    Adanya athiyyah (pemberian)
b.    Ada niat Istimalah (menarik simpati orang lain)
c.    Bertujuan :
1)    Ibtholul haq (membatalkan yang haq)
2)    Ihqaqul bathil (merealisasikan kebathilan)
3)    al mahsubiyah bighoiri haq (mencari keberpihakan yang tidak dibenarkan)
4)    al hushul alal manafi’ (mendapatkan kepentingan yang bukan menjadi haknya)
5)    al hukmu lahu (memenangkan perkaranya)


2.    Pengertian Ghulul (Korupsi).
Ghulul atau korupsi adalah sebuah kata yang mempunyai banyak arti. Arti kata korupsi secara harfiah ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.
Sedangkan korupsi dalam Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa yang dimaksud dengan korupsi adalah usaha memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi dengan cara melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

3.    Pengertian Hadiah.
Hadiah dalam kamus artinya pemberian yang bisa bermaksud kenang-kenangan, penghargaan dan penghormatan.  Adapun hadiah dalam pengertian fiqih Islam hampir sama dengan hibah, yaitu pemberian sesuatu untuk memuliakan seseorang tanpa mengharap balasan. Akan tetapi bila pemberian (hadiah) kepada hakim atau pemegang kekuasaan, maka hukumnya dirinci.
Adapun hukum pemberian hadiah kepada pemegang kekuasaan adalah: Pertama, pemberian kepada hakim atau pemegang kekuasaan dari seseorang yang sedang mempunyai perkara, maka hal ini haram dikarenakan pemberian tersebut dapat membuat condongnya hati (memiliki tendensi) sang hakim kepada si pemberi.
Kedua, pemberian kepada hakim atau pemegang kekuasaan dari seseorang yang tidak mempunyai perkara, sedang biasanya orang tersebut tidak pernah memberi (ketika sebelum menjadi hakim), maka hukumnya haram. Tetapi dalam kitab al-Kifayah dirujuk dari kitab an Nihayah dan al Basith, mengatakan bahwa hukumnya adalah makruh. Jika pemberian ini diharamkan, berarti si penerima tidak berhak menerima pemberian tersebut, sehingga ia harus mengembalikan kepada si pemberi, jika tidak memungkinkan, maka pemberian tersebut diserahkan ke baitul mal (kas Negara).
Ketiga, pemberian kepada hakim atau pemegang kekuasaan dari seorang yang tidak memiliki perkara/kasus dan si pemberi memang biasa memberikan sesuatu kepada hakim atau pemegang kekuasaan sebelum menjadi pejabat, maka dalam hal ini hukumnya halal. Sedangkan hukum menerimanya adalah makruh dan lebih baik menolak/tidak menerimanya. Atau bisa juga si penerima menerimanya dan kemudian membalas pemberian tersebut, atau si penerima menerimanya kemudian pemberian tersebut dimasukkan ke dalam baitul mal, kas negara


B.    Pandangan Islam terhadap Risywah (Suap), Ghulul (Korupsi), dan Pemberian Hadiah.
1. Hukum Risywah (Suap).
Dari definisi yang telah disebutkan di atas tentang Riisywah ada dua sisi yang saling terkait dalam masalah risywah; Ar-Rasyi (penyuap) dan Al-Murtasyi (penerima suap), yang dua-duanya sama-sama diharamkan dalam Islam menurut kesepakatan para ulama, bahkan perbuatan tersebut dikatagorikan dalam kelompok dosa besar. Sebagaimana yang telah diisyaratkan beberapa nash Al-Qur’an dan Sunnah Nabawiyah berikut ini :
Firman Allah SWT dalm Q.S. Al-Baqarah :188



Dan Sabda Rasulullah SAW :
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ
“Rasulullah melaknat penyuap dan yang menerima suap”(HR Khamsah kecuali an-Nasa’i dan di shahihkan oleh at-Tirmidzi).

عن أببى هريرة قال لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم الراشي والمرتشي فى الحكم
“Bahwa laknat Allah akan ditimpakan kepada orang yang menyuap dan yang disuap dalam masalah hukum” (HR.Bukhari
Ayat dan hadits di atas menjelaskan secara tegas tentang diharamkannya mencari suap, menyuap dan menerima suap. Begitu juga menjadi mediator antara penyuap dan yang disuap. Segala sesuatu yang dihasilkan dengan cara yang tidak halal seperti risywah maka harus dikembalikan kepada pemiliknya jika pemiliknya diketahui, dan kepada ahli warisnya jika pemiliknya sudah meninggal, dan jika pemiliknya tidak diketahui maka harus diserahkan ke baitulmal sebagaimana penjelasan yang terdapat dalam hadits Ibnul lutbiah, atau digunakan untuk kepentingan umat Islam. Sebagaiman yang dikatakan oleh syekhul Islam Ibnu Taimiyah terkait dengan orang yang bertaubat setelah mengambil harta orang lain secara tidak benar: ”jika pemiliknya diketahui maka harus dikembalikan kepada pemiliknya, dan jika tidak diketahui maka diserahkan untuk kepentingan umat Islam.”
Pada prinsipnya risywah itu hukumnya haram karena termasuk memakan harta dengan cara yang tidak dibenarkan. Hanya saja mayoritas ulama membolehkan ‘Risywah’ (penyuapan) yang dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan haknya dan atau untuk mencegah kezhaliman orang lain.


2. Hukum Ghulul (Korupsi).
Seara etimologis, dalam al-Mu’jam al-Wasit bahwa kata ghulul berasal dari kata kerja (غلل يغلل), yang dapat diartikan dengan berkhianat dalam pembagian harta rampasan perang atau dalam harta-harta lain. Definisi ghulul secara terminologis dikemukakan oleh Rawas Qala’arji dan Hamid Sadiq Qunaibi yang diartikan mengambil sesuatu dan menyembunyikannya dalam hartanya. Akan tetapi, dalam pemikiran berikutnya berkembang menjadi tindakan curang dan khianat terhadap harta-harta lain, seperti tindakan penggelapan terhadap harta baitul mal, harta milik bersama kaum muslim, harta bersama dalam suatu kerja bisnis, harta negara, dan lain-lain.
Sanksi yang diterapkan terhadap tindakan ghulul pada zaman Rasulullah saw lebih ditekankan pada sanksi moral. Pelaku ghulul akan dipermalukan di hadapan Allah kelak pada hari kiamat. Dengan kata lain, bahwa perbuatan ini tidaklah dikriminalkan, melainkan hanya dengan sanksi moral dengan ancaman neraka sebagai sanksi ukhrawi. Ini lantaran pada saat itu, kasus-kasus ghulul hanya merugikan dengan nominal yang sangat kecil, kurang dari tiga dirham. Mungkin saja akan berbeda seandainya kasus ghulul memakan kerugian jutaan hingga miliaran rupiah, pasti akan ada hukuman fisik yang lebih tegas untuk mengatasinya.
C.    Pandangan islam terhadap Pemberian hadiah pada Pejabat.
Pada dasarnya, seseorang memberikan hadiah atau parsel kepada saudaranya seislam merupakan perbuatan terpuji dan dianjurkan oleh syariat. Apalagi jika diniatkan untuk menyambung silaturahim, kasih sayang dan rasa cinta, atau dalam rangka membalas budi dan kebaikan orang lain dengan hal yang semisal atau lebih baik darinya. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
تَهَادَوْا تَحَابُّوا
“Hendaklah kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Al-Baihaqi)

Dan diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقْبَلُ الْهَدِيَّةَ وَيُثِيبُ عَلَيْهَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menerima hadiah dan membalasnya.” (HR. Bukhari)
Namun terkadang pula, hadiah bisa menjadi haram atau perantara menuju perkara yang haram jika hadiah tersebut untuk tujuan yang melanggar aturan syariat, seperti bertujuan menyuap orang yang menerimanya agar memberikan sesuatu yang bukan haknya, atau membebaskannya dari hukuman yang mesti menimpanya, membatilkan yang hak, atau sebaliknya. Dengan demikian, hukum memberikan hadiah itu berbeda-beda sesuai dengan tujuan pemberinya dan seberapa jauh dampak dan kerusakan yang ditimbulkan dari pemberian tersebut.
   






1 comment:

Unknown said...

sumbernya dari mana ?